Minggu, 15 Januari 2012

PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI UMAT HINDU


PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI UMAT HINDU
Setiap agama di dunia ini pasti mempunyai tempat suci untuk beribadah. Banyak tempat beribadah di bangun untuk di buat memuja Tuhan. Pura merupakan tempat suci bagi Umat Hindu. Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata Pura untuk manamai tempat suci atau tempat pemujaan dipergunakanlah kata “Kahyangan atau Hyang”.
Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua sungai atau lebih, di muara sungai, dipuncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Untuk itu banyak pura-pura yang di bangun di tempat-tempat yang disebutkan itu sejatinya untuk memperoleh ketenangan pada saat memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Istilah Pura pertama kali berasal dari masyarakat Hindu di Bali namun sekarang nama Pura sudah di pakai untuk menamai tempat suci Umat Hindu secara nasional. Konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut Bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara. Berikut adalah pengelompokan Pura berdasarkan fungsinya :
1.    Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa. 
2.    Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. 
Fungsi pura juga dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ). Ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut. Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1.    Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna.
2.    Pura Teritorial 
    Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu desa tersebut.
3.    Pura Fungsional 
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan.
4.    Pura Kawitan
Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan.
Namun setiap umat Hindu daerah di Indonesia menyebut Pura dengan banyak nama sesuai dengan bahasa daerah mereka. Tapi pada dasarnya, semua nama-nama daerah itu sama artinya yakni Pura. Sejatinya Hindu sangat menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, namun perbedaan itu akan memberikan keindahan bila kita tidak mempersalahkannya. Demikianlah umat Hindu yang sangat mencintai perdamaian.
Om Santih Santih Santih Om
  

Jumat, 13 Januari 2012

PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI



PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

Pada mulanya, Agama Hindu berkembang di Jawa Timur terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada. Sepeninggal Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, agama Hindu kemudian mengalih ke Bali karena di Jawa Timur tidak mendapat perhatian dan perilaku yang wajar. Diperkirakan dari sebelum abad ke 8 hingga abad ke 14 ekspedisi Maha Patih Gajah Mada datang dan mempu mengalahkan Bali. Dengan diketemukan Ye Te mantra Budha yang menyebutkan tentang Siva Siddhartha di Pejeng. Perkembangan berikutnya tentang Siva Budha ini, Siva lebih menonjol yang termuat dalam prasasti Sukawana A. 1 dan rontal Bhuvana Tattva Maharsi Markandeya yang menceritakan sampai pada pendirian Pura Besakih memakai dasar Panca Dhatu.
Berikut proses perkembangan Agama Hindu di Bali :
  • ·         Masa Bali Kuno
Perkembangan Agama Hindu pada masa ini sangat pesat. Diawali dari pemerintahan raja suami istri antara Dharmodayana Varmadeva dengan Gunapriya Dharmapatni (putri dari Mpu Sendok) dari Jawa Timur yang melahirkan Airlangga yang menjadi raja Hindu di Kediri. Pada masa pemerintahan Dharmodayana Varmadeva , sekte-sekte Hindu di Bali dapat dipersatukan menjadi paham Tri Murti dalam konsep Kahyangan Tiga. Dan Mpu Kunturan yang datang ke Bali berjasa besar dalam menanamkan konsep tersebut pada seluruh masyarakat desa Pekraman di Bali serta, menegakkan dharma dan sistem kemasyarakatan di Bali hingga Bali menjadi aman dan tertib. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Varmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa".JDemikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi. Diantara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
  • ·         Masa Bali Pertengahan
Pada masa ini, di awali dengan runtuhnya kerajaan Bali Kuno sehingga terjadi kekosongan pimpinan di Bali. Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Datangnya Dang Hyang Niratha atau Dang Hyang Dwijendra banyak berjasa menata kehidupan beragama di Bali, Lombok, dan Sumbawa, beliau juga mengembangkan konsep “Tuhan dalam sebutan Bhatara Siva atau kemanunggalan” dengan tempat pemujaan Padmasana. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan "Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa", yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Dang Hyang Niratha banyak menuntun masyarakat dalam membangun pura, pura peninggalan beliau di sebut dengan Pura Dang Khayangan.  Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686). Kekuatan Hindu sejak pemerintahan Kerajaan Gelgel masih tetap dipertahankan sampai saat ini.
Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.
Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten. Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung.
  1. Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
  2. Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
  3. Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
  4. Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
  5. Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
  6. Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
  7. Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
  8. Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
  • ·         Masa Bali Baru
Pada masa ini perkembangan Agama Hindu menjadi tidak terkoordinasi karena belum ada badan yang tunggal, sehingga perkembangannya menjadi beraneka ragam. Perkembangan penghayat keagamaan banyak bermunculan dan terakhir terangkum dalam wadah Hindu Bali.
  • ·         Masa Penjajahan
Pada masa ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal, beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).
Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Perang Buleleng (1846)
  2. Perang Jagaraga (1848--1849)
  3. Perang Kusamba (1849)
  4. Perang Banjar (1868)
  5. Puputan Badung (1906)
  6. Puputan Klungkung (1908)
Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda. Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali.
Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.
Pada masa ini pula, perkembangan Agama Hindu mengalami pasang surut masalah ini pada awalnya ditangani oleh guru tiga (guru rupaka, pengajian, dan visesa) dengan Svadharmanya masing-masing kemudian mengalami perubahan pelik dan terjadinya perubahan urutan masyarakat.
  • ·         Masa Kemerdekaan
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.
Perkembangan Agama Hindu pada masa ini terjadi perubahan tata cara kehidupan umat tidak meninggalkan agama atau mengubah keyakinan beragama tetapi terjadi pasang surut yang disebabkan oleh munculnya :
a.       KUAP (Kantor Urusan Agama Pusat)
b.      KUAD (Kantor Urusan Agama Daerah)
Yaitu terbentuknya Propinsi Administrasi Nusa Tenggara juga adanya gerakan penumpasan G30S PKI. Selaku pengabdian teknis lahirlah Direktorat Jenderal Bimas Hindu-Budha Depag (1967). Selain itu dengan adanya keputusan-keputusan dan Mahasabha Parisadha Hindu Dharma yang dilaksanakan dengan baik. Sebagai wujud nyata hasil-hasil dalam dharma agama juga dapat dicapai melalui :
a.       Pendirian Kantor Agama Daerah Bali
b.      Sekolah PGAH
c.       IHD, dll.
Lalu setelah jaman kemerdekaan diperoleh, maka tanggal 3 Januari 1964 Depag RI Berdiri.